Cari Blog Ini

Minggu, 26 Juni 2011

Climate Change, Global Warming, Greenhouse Gasses... MASALAHMU ATAU MASALAH KITA BERSAMA?

Climate Change.. Global Warming.. Greenhouse gasses.. Apa yang terpikir ketika mendengar istilah ini? Basi? Mungkin saja. Tapi jika topik ini ditelaah secara mendalam, mencari lebih detail lagi makna yang tersimpan di dalamnya, mungkin perlu dipertimbangkan ulang istilah ‘basi’ yang baru saja terpikirkan.
Apa itu gas rumah kaca, pemanasan global dan perubahan iklim?
Sebelum mengupas perihal climate change (perubahan iklim), greenhouse gasses (gas rumah kaca) ataupun Global Warming (pemanasan global), harus dipahami terlebih dahulu pengertian istilah-istilah tersebut. Perubahan iklim merujuk pada proses yang menghasilkan nilai dari pengukuran iklim seperti suhu, iklim, dll. Nilai ini bisa menurun atau pun meningkat. Sementara itu, pemanasan global merujuk proses peningkatan nilai temperatur yang terjadi di atmosfir terutama pada lapisan troposfir.
Dalam ambang batas tertentu, energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas Rumah Kaca (GRK) pada atomsfer (uap air, karbondioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi GRK menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60°F/15°C.
Perubahan iklim disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Apa yang menyebabkan perubahan iklim? Salah satunya adalah pemanasan global. Pemanasan global terjadi jika efek rumah kaca seperti CO2 (Karbon Dioksida), CH4(Metan), N2O (Nitrous Oksida), HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur Hexafluoride) yang berlebihan di atmosfer. Gas-gas tersebut adalah adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Jadi, GRK adalah salah satu penyebab dari pemanasan global yang berpengaruh pada perubahan iklim di bumi.
Faktor aktivitas manusia yang merubah komposisi lahan dan struktur dari atmosfir berperan sangat besar dalam pemanasan global ini. Penggunaan bahan bakar minyak dan batubara, kegiatan perindustrian, penyediaan energi listrik, transportasi dan hal lain yang bersifat membakar suatu bahan serta penebangan hutan menjadi penyebab utama heat trapping dari ‘GRK’. Sedangkan dari peristiwa secara alam seperti dari letusan gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran hutan, peternakan hingga bernafas pun mengeluarkan GRK.
Apa bukti bahwa fenomena perubahan iklim itu sudah terjadi?
Rata-rata kenaikan temperatur bumi pada abad 20 ini adalah sekitar 0.6 ± 0.2 0 C. Tahun 1998 dan 2005 tercatat sebagai tahun dengan suhu tertinggi di bumi. Analisis dari penelitian di Antartika menunjukkan saat ini tingkat CO2 di atmosfer menjadi 30% lebih tinggi dibandingkan waktu-waktu sebelumnya dalam 420.000 tahun terakhir dan akan terus bertambah. Pada bulan Desember 1977 dan Desember 2000, Panel Antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim, badan yang terdiri dari 2000 ilmuwan, mengajukan sejumlah pandangan mengenai realitas sekarang ini:
• Bencana-bencana alam yang lebih sering dan dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin topan, siklon dan kekeringan akan terus terjadi. Bencana badai besar terjadi empat kali lebih besar sejak tahun 1960.
• Suhu global meningkat sekitar 5 0 C (10 0 F) sampai abad berikut, tetapi di sejumlah tempat dapat lebih tinggi dari itu. Permukaan es di kutub utara makin tipis karena mencair.
• Penggundulan hutan, yang melepaskan karbon dari pohon-pohon, juga menghilangkan kemampuan untuk menyerap karbon. 20% emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia dan memacu perubahan iklim.
• Sejak Perang Dunia II jumlah kendaraan motor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680 juta; kendaraan motor termasuk merupakan produk manusia yang menyebabkan adanya emisi carbon dioksida pada atmosfer.
• Selama 50 tahun kita telah menggunakan sekurang-kurangnya setengah dari sumber energi yang tidak dapat dipulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia.
Apa akibatnya?
Bicara mengenai akibat dari kesemua hal tersebut diatas, perlu ditegaskan (sekali lagi!) bahwa permasalahan ini bukan sesuatu yang cukup dipandang sebelah mata dan akhirnya menjadi basi. Beberapa hal di bawah ini mungkin bisa membuat mata yang lain lebih terbuka:
• Bencana alam: Perubahan iklim terasa dengan pola hujan yang tidak menentu sehingga menyebabkan banjir dan longsor, serta kekeringan. Hal ini juga dirasakan oleh Indonesia dengan tsunaminya di Aceh beberapa tahun yang lalu.
• Sakit penyakit: Resiko penyakit menular yang disebabkan oleh makhluk hidup yang habitatnya di daerah hangat seperti malaria, demam berdarah, penyakit kuning, enchepalitis, kolera, dll semakin meningkat. Waktu dan rentang hidup penyebab penyakit-penyakit ini menjadi lebih panjang. Di Indonesia, pada tahun 1997 ditemukan bahwa nyamuk pembawa malaria bisa survive sampai dengan ketinggian 2103 mdpl. Hal ini terjadi di Irian Jaya.
• Pencairan es di bumi menyebabkan kenaikan permukaan laut yang membawa dampak luas bagi manusia, terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran rendah, di daerah pantai yang padat penduduk di banyak negara dan di delta-delta sungai. Banyak negara akan dilanda kekeringan dan banjir.
• Negara-negara miskin akan menderita luar biasa akibat perubahan iklim, sebagian karena letak geografisnya, juga karena kekurangan sumber alam untuk penyesuaian dengan perubahan dan melawan dampaknya. Wakil PBB untuk Program Lingkungan Hidup mengemukakan pada Konvensi Kerangka Kerja PBB pada Konferensi Perubahan Iklim ke-7 di Maroko November 2001 bahwa panen makanan pokok seperti gandum, beras dan jagung dapat merosot sampai 30% seratus tahun mendatang akibat pemanasan global. Mereka cemas bahwa para petani akan beralih tempat olahan ke pegunungan yang lebih sejuk, menyebabkan terdesaknya hutan dan terancamnya kehidupan di hutan dan terancamnya mutu serta jumlah suplai air. Penemuan baru ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari rakyat pedesaan di negara berkembang sudah mengalami dan menderita kelaparan dan gizi buruk tersebut.
• Biaya tahunan untuk menangkal pemanasan global dapat mencapai 300 miliar dollar, 50 tahun ke depan jika tidak diambil tindakan untuk mengurangi emisi GRK. Selama dekade lalu bencana alam telah mengeruk dana sebesar 608 milliar dollar.
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya?
1. Protokol Kyoto
a. Sekilas tentang Protokol Kyoto
Protokol adalah seperangkat aturan yang mengatur peserta protokol untuk mencapai tujuan tertentu yang telah disepakati. Para anggota jelas terikat secara normatif untuk mengikuti aturan-aturan di dalamnya dan biasanya dibentuk untuk mempertegas sebuah peraturan sebelumnya (misalnya konvensi) menjadi lebih detil dan spesifik. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework Convention on Climate Change) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.
Pada saat Conference of Parties 3-COP (pertemuan otoritas tertinggi tahunan dalam UNFCCC ke-3) diadakan di Kyoto, Jepang, ditetapkan Protokol Kyoto tanggal 12 Desember 1997. COP 3 dapat dipastikan adalah ajang perjuangan negosiasi antara negara-negara ANNEX I (yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri) dengan negara-negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim. Protokol Kyoto adalah satu-satunya kesepakatan internasional untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi GRK yang mengatur soal pengurangan emisi tersebut dengan lebih tegas dan terikat secara hukum (legally binding).
Ada dua syarat utama agar Protokol Kyoto berkekuatan hukum:
1. Sekurang-kurangnya protokol harus diratifikasi oleh 55 negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Pada tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani protokol tersebut yang berarti syarat pertama telah dipenuhi.
2. Jumlah emisi total dari negara-negara ANNEX I (yang lebih dulu mengemisikan GRK sejak revolusi industri ) peratifikasi protokol minimal 55% dari total emisi mereka di tahun 1990. Rusia akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto tanggal 18 November 2004 dan menandai jumlah emisi total dari negara ANNEX I sebesar 61.79%. Protokol Kyoto akhirnya berkekuatan hukum 90 hari setelah ratifikasi Rusia, yaitu pada tanggal 16 Februari 2005.
Dalam Protokol Kyoto disepakati bahwa seluruh negara ANNEX I wajib menurunkan emisi GRK mereka rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi tersebut di tahun 1990. Bagi negara NON ANNEX I Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK, tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tersebut terdapat di dalamnya, prinsip tersebut dikenal dengan istilah "tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda" (common but differentiated responsbility).
Isu yang masih tersisa dalam Protokol kyoto ini adalah soal komitmen negara-negara maju paska periode 2008-2012. Pengurangan emisi lebih banyak adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh Negara-negara maju paska Protokol Kyoto 2012. Amerika Serikat menarik diri dari protokol pada bulan Maret 2001. Negara yang paling banyak mengemisikan CO2 (36.1% dari total emisi negara-negara maju) ini merasa pengurangan emisi CO2 akan menghambat pertumbuhan ekonomi di negaranya.
b. Bagaimana peranan Indonesia dalam hal ini ?
Sejak Konvensi di Rio de Jeneiro 1994 lalu, pemerintah Indonesia sudah membuat Undang-Undang yang mendukung mengenai masalah ini yaitu:
• Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557);
• Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
• Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).
Walaupun demikian, sebetulnya kebijakan dan peraturan pemerintah yang khusus untuk perdagangan karbon masih lemah walaupun pemerintah memberi peluang juga dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999 dan PP No. 34 tahun 2002. Salah satu persoalan adalah bahwa kebijakan dan peraturan perundangan kehutanan kita selalu berubah dan kurang konsisten.
Permasalahannya sekarang ini terkait dengan perdagangan karbon adalah bahwa menurut kesepakatan Protokol Kyoto, perdagangan karbon hanya bisa melibatkan pohon atau hutan yang ditanam bukan dari hutan alam dan hanya pada hutan tanaman yang dikembangkan setelah tahun 1990. Kompensasi atas penyerapan karbon bisa dibayar untuk pohon yang ditanam melalui kegiatan penghutanan atau reboisasi serta beberapa bentuk kegiatan penanaman lainnya, diutamakan setelah tahun 1990. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa cepat pertumbuhan dan berapa banyak karbon yang bisa di serap hutan yang dikembangkan setelah tahun 1990? Kebanyakan industri atau negara hanya mau membayar orang yang menanam pohon untuk menyerap karbon bukan pada hutan yang sudah tumbuh selama ratusan atau puluhan tahun.
Belum ada data yang pasti tentang potensi Indonesia untuk menyerap karbon tiap tahunnya, sedangkan kerusakan hutan yang terus terjadi akhir-akhir ini menyebabkan karbon di hutan berkurang dan pelepasan karbon meningkat sangat besar sekali. Antara tahun 1990 - 1994 saja telah terjadi penurunan daya serap gas karbon sebesar 77% akibat perubahan kawasan hutan sedangkan gas karbon yang dikeluarkan dari hutan meningkat sebesar 99 %. Melihat situasi ini, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara yang harus membayar kompensasi atas pengeluaran karbon ini.
Pemerintah Indonesia juga perlu berhati-hati dalam memahami motivasi dari orang-orang yang menanam pohon atau pemerintah dan masyarakat yang memiliki hutan untuk terlibat dalam upaya mendukung proses penimbunan karbon atau mungkin menuntut kompensasi karena sudah memiliki hutan yang mampu menyerap dan menimbun karbon. Mungkin saja ada eskploitasi oleh pemilik modal yang bisa bermain di pasar perdagangan karbon karena mereka bisa memiliki informasi yang lebih banyak dan tepat mengenai kredit dan harga karbon.
Pemerintah dan kaum ilmuwan masih harus mengkaji berapa jatah emisi dan yang bisa dijual guna memperoleh kredit untuk penanaman pohon melalui reboisasi. Petani atau masyarakat pedesaan sepantasnya mendapatkan keuntungan dari upaya penanaman sebagai bagian dari kompensasi penyerapan karbon ini. Petani kecil terlibat dalam berbagai proyek kehutanan seperti penghutanan, penanaman kayu untuk industri hutan, reboisasi atau rehabilitasi hutan, atau wanatani (agroforestri).
Mungkin langkah awal yang penting untuk dipertimbangkan adalah melakukan perencanan strategis dan operasional untuk pelaksanaan kegiatan di atas yang bisa dijadikan dasar perhitungan potensi penyerapan karbon. Dengan dasar ini pula bisa dikembangkan kebijakan, mekanisme, instrumen dan aturan main untuk mendapatkan kredit atau pendanaan untuk kegiatan tersebut dengan dasar perhitungan potensi karbon yang bisa diserap.t
Sedikit informasi dari hasil studi Strategi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (MBP), Indonesia memiliki potensi karbon yang dapat diperdagangkan sebesar 2 persen atau setara dengan 125 juta ton CO2. Jika diasumsikan harga Certified Emission Reductions (CER) di pasar internasional sebesar 6 dollar AS per ton CO2, maka nilai ekonomi yang akan diperoleh sekitar 750 juta dollar AS dari transaksi penjualan CER untuk periode komitmen I (2008-2012). CER adalah bentuk pengurangan emisi GRK dari proyek MPB yang disertifikasi.
Terlepas dari permasalahan tersebut dan bagaimana sebenarnya kita semua menyikapinya, pada penghujung tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah bagi Konferensi Perubahan Iklim mendatang di Bali. Beberapa isu yang akan terbahas antara lain adalah soal deforestasi dan carbon capture storage. Pada tanggal 3-14 Desember 2007, Bali akan menjadi saksi bisu bagi negosiasi internasional untuk mencegah bumi dari bencana perubahan iklim. Penunjukan ini tentunya merupakan komitmen yang diberikan oleh dunia kepada Indonesia untuk memimpin jalannya negosiasi tentang perubahan iklim.
2. Hal-hal yang bisa dilakukan secara pribadi.
a. Sebagai warga yang tinggal dekat dengan salah satu kawasan hutan tropis Indonesia, doronglah pemerintah untuk lebih concern dengan permasalahan di Taman Nasional (TN) khususnya TN Kutai. Tekanan terhadap benteng terakhir wilayah konservasi di Indonesia semakin besar. Perambahan dan penebangan liar menjadi momok menakutkan bagi deforestasi di Imdonesia khususnya TN Kutai. Jadilah masyarakat yang cerdas. Bencana di kalimantan Timur ini sedang mengancam. Bagaimana dengan Bontang, Kutai Timur dan Kutai Kertanegara? Jika dibiarkan, tinggal tunggu waktu saja.
b. Gunakan barang-barang yang hemat energi, bebas CFC dan ramah lingkungan.
c. Gunakan produk-produk yang dapat didaur ulang dan materi yang dapat diperbaiki atau digunakan kembali (Reuse, Reduce and Recycle). Hal ini akan menghemat sumberdaya, mengurangi polusi dan sampah.
d. Hemat penggunaan sumberdaya alam yang bisa habis seperti air, kayu, dll.
e. Cerdas dalam membeli kendaraan. Coba browsing EPA's Green Vehicle Guide and EPA/DOE Fuel Economy Guide. Website ini memberi informasi mengenai jenis-jenis kendaraan yang emisinya rendah dan hemat bahan bakar.
f. Gunakan kendaraan yang bisa menggunakan energi alternatif - Flex Fuel Vehicle (FFV). FFV bisa menggunakan bahan bakar campuran yang mengandung 85% ethanol atau gasoline tradisional. Ethanol dibuat dari sumberdaya yang bisa diperbaharui seperti jagung.
g. Berikan pendidikan tentang lingkungan sejak dini pada anak-anak. Coba browse Climate Change Kids Site dan lihat Climate Animations. Di website itu disajikan tentang informasi yang dikhususkan bagi anak-anak, disertai dengan permainan-permainan yang akan menolong mereka mempelajari tentang climate change dan apa yang bisa dilakukan mereka untuk mengurangi GRK.
h. Lebih penting lagi, informasikan hal ini kepada rekan-rekan sejawat sebanyak mungkin!
Begitu banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendukung pengurangan emisi GRK dan pemanasan global. Perubahan iklim adalah masalah yang dihadapi secara global sehingga membutuhkan upaya bersama untuk mengatasinya. Jika terlambat, menurut perkiraan para ahli, Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau kecil yang mungkin akan tenggelam pada pertengahan abad ini. Pertanyaannya adalah seberapa perduli kita akan masalah yang sangat serius ini? Apakah hanya sekedar ungkapan kata-kata seperti: ‘Ya, saya perduli!’ Akan tetapi tidak melakukan apa-apa?
Jika bumi sebagai rumah kita hancur maka berakhirlah era manusia abad ini. Waktu semakin sempit. Sekecil apapun tindakan kita untuk mendukung hal ini, akan sangat berarti bagi bumi kita. Sekalipun situasi politik tidak kondusif dan banyak pihak yang mungkin memanfaatkan isu ini menjadi sebuah bisnis belaka, pilihan ada di tangan kita. Sambil menunggu hasil dari Konferensi Perubahan Iklim nanti, jadilah manusia yang bijaksana dan cerdas! Ayo bertindaklah! SEKARANG JUGA!!
Referensi sumber:
. Perdagangan Karbon. Warta Kebijakan No. 8, Pebruari 2003. CIFOR.
. Global Warming. Http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming
Aziz, Nasru Alam. MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH , Berdagang Karbon untuk Anak-Cucu. Kompas Cyber Media, Sabtu, 29 Oktober 2005.
Wasrin, Upik Rosalina. Potensi Perdagangan Karbon di Kehutanan. www.aphi-net.com
Situs terkait: http://www.wwf.or.id/climate; http://www.greenpeace.org; http://www.unfccc.int; http://www.earthcharter.org/ ; http://www.epa.gov/climatechange/; wikipedia (free encyclopedia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar