Cari Blog Ini

Rabu, 02 Juni 2010

Motif Perambahan Hutan

Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan perkataan lain kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat hubungan harmonis antara manusia dengan hutan dengan segala problematikanya. Hubungan harmonis ini mulai retak, ketika pemanfaatan hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang yang mendapat pengusahaan hutan. Di lain pihak, rakyat yang berabad-abad hidup dalam hubungan harmonis dengan hutan disekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber saya ini, baik langsung maupun tidak langsung. Ironi ini menyebabkan masyarakat melakukan berbagai usaha ilegal terhadap hutan, seperti perambahan dan pencurian kayu, karena mereka tidak lagi difungsikan dalam hubungan dengan hutan sekitarnya.
Perambahan hutan dengan segala kompleksitas dan implikasinya merupakan masalah yang bukan saja dihadapi oleh suatu daerah tertentu, tetapi menjadi masalah di berbagai kawasan hitan di tanah air, sehingga perambahan hutan merupakan masalah yang berskala nasional dan perlu mendapat perhatian serius terutama dalam hal penanganannya.
Perambah Hutan
Perambah dapat diartikan Perorangan atau individu maupun kelompok dalam jumlah yang kecil maupun kelompok yang besar, menduduki suatu kawasan hutan untuk dijadikan sebagai areal pekebunan maupun pertanian baik yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada kawasan hutan negara. Aktifitas perambah tidak terbatas pada usaha perkebunan atau pertanian saja tetapi dapat juga dalam bentuk penjarahan hutan untuk mengambil kayu-kayunya ataupun bentuk usaha lain yang menjadikan kawasan sebagai tempat berusaha secara illegal.
Perambahan kawasan hutan lebih disebabkan kurangnya lahan usaha masyarakat sekitar hutan. Okupasi yang dilakukan lebih kepada kepentingan individu akibat keterdesakan sempitnya usaha. Termasuk dalam kategori ini masyarakat yang masih mempraktekkan pola perladangan berpindah. Masyarakat umumnya mengetahui bahwa yang mereka okupasi atau dirambah adalah kawasan hutan negara yang tidak serta merta dapat mereka miliki (Ali Djajono, 2009).
Faktor Penyebab Terjadinya Perambahan Hutan
Kedekatan serta ketergantungan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan dengan hutan tersebut, menyebabkan adanya interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya. Pada awalnya interaksi interaksi tersebut terjadi dengan tetap memperhatikan aspek pelestarian alam, tetapi dengan semakin berkembangnya peradaban dan kebutuhan, maka interaksi yang terjadi antara masyarakat dengan hutan sudah mulai bergeser. Bahkan bukan hanya masyarakat yang dekat dengan hutan lagi yang melakukan interaksi dengan hutan. Interaksi dalam arti negatif saat ini banyak terjadi hutan di seluruh Indonesia, yaitu perambahan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat sekitar hutan melakukan perambahan.
1. Akses Menuju Kawasan
Ketersediaan jalan sangat berpengaruh terhadap kelestarian kawasan. Kemudahan bagi masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulasi bagi mereka untuk membuka lahan-lahan di dalam kawasan hutan. Tersedianya akses jalan akan memudahkan bagi mereka untuk mengangkut barang-barang kebutuhan maupun hasil dari tanaman yang diusahakan.
Aktivitas tambang di dalam kawasan hutan, dapat merupakan penyebab masuknya masyarakat ke dalam kawasan. Biasanya adanya aktivitas tambang, masyarakat semakin banyak melakukan perambahan hutan akibatnya semakin memperparah kondisi dari kawasan itu sendiri. Jalan tambang merupakan salah satu akses bagi perambah. Jika lokasi tambang semakin ke dalam kawasan hutan maka kegiatan perambah juga akan semakin ke dalam, bahkan kegiatan perambahan dapat mereka lakukan beberapa kilometer lebih jauh lagi dari lokasi yag tersedia jalan.
2. Kemiskinan masyarakat di sekitar Kawasan
Adanya kenyataan bahwa hampir semua masyarakat disekitar kawasan hutan adalah masyarakat miskin. Setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan tersendiri (Ali Djajono, 2009). Menurut Khaerul Tanjung (2006), masyarakat dipedesaan hanya mengandalkan sumber mata pencariannya dari sektor pertanian. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga serta peningkatan kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang kurang mampu melakukan perluasan areal pertaniannya.
3. Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Masyarakat Perambah
Masyarakat perambah, tingkat pendidikan pada umumnya rendah hasil Survei Dephut dan BPS tahun 2004 menyatakan tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan ± 12,8 juta (42,7%) tidak mempunyai ijazah, 11,6 juta (39%) Tamat Sekolah Dasar (SD)/setara, 3,8 juta (12,3%) sampai SMP/setara, dan 1,6 juta (5,2%) SMA/setara (Planolog, 2007).
Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat perambah, berdampak pada kelestarian hutan dan keselamatan lingkungan. Memang terkadang di dalam masyarakat tradisional masih memiliki kearifan lokal yang bisa memanfaatkan dengan menekan dampak yang ditimbulkan, tetapi untuk waktu sekarang kerifan tesebut telah hilang dikarenakan tuntutan hidup dan desakan ekonomi yang semakin sulit.
4. Kesuburan Tanah
Selama ini banyak yang beranggapan bahwa kawasan hutan yang selalu hijau dan dihuni oleh pohon-pohon yang besar, memiliki lahan yang subur. Anggapan yang menganggap bahwa lahan hutan subur adalah anggapan yang keliru. Tanah-tanah di hutan yang nampaknya lebih subur sangat rentan terhadap gangguan dari faktor luar. Kehilangan unsur hara di dalam ekosistem hutan mengakibatkan lahan-lahan hutan yang dibuka akan mengalami penurunan kualitas kesuburan tanahnya, ditambah juga dengan sistem pembukaan lahan dengan sistem tebas, tebang dan bakar akan lebih banyak lagi kehilangan material-material unsur hara yang tersimpan pada tumbuhan.
5. Keterbatasan Pengawasan terhadap Kawasan Hutan
Kurangnya pengawasan dapat menyebabkan masuk perambah ke dalam kawasan hutan. Hal ini dapat memberikan anggapan kepada para perambah bahwa tindakan yang mereka lakukan masih dalam batas yang wajar dalam artian memfungsikan kawasan untuk dimanfaatkan sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan bagi para perambah.
Penanganan Perambahan Hutan
Berbagai masalah perambahan hutan dan pencurian kayu dapat dilakukan melalui kebijakan-kebijakan seperti melakukan inventarisasi perambah hutan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang akurat tentang jumlah perambah dan luas hutan yang dirambah. Untuk melakukan penurunan perambah hutan dapat dilakukan dengan metode persuasif, yaitu dengan memberikan pengertian-pengertian sehingga perambah bersedia meninggalkan lokasi perambahan dan tidak kembali lagi melakukan perambahan.
Disamping itu, dilakukannya pembinaan terhadap masyarakat adalah untuk menghindari terjadinya perambahan kembali pada kawasan hutan. Pembinaan ini dilakukan dengan penyuluhan bina desa, pembangunan hutan kemasyarakatan (sosialisasi hutan), penanaman bambu batas luar, dan rehabilitasi dan konservasi.
Dalam upaya menyelamatkan kawasan hutan dari kegiatan perambahan oleh masyarakat, melalui koordinasi dengan instansi-instansi serta pihak-pihak terkait telah melakukan upaya-upaya baik preventif maupun represif. Upaya-upaya yang dilakukan berupa pengusiran para perambah keluar dari kawasan hutan, serta penindakan perambah melalui proses hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar